Hai, masih sama dengan suasan hati sedikit mendung, dan ku harap hati nurani kita selalu cerah secerah sang surya menerangi dunia. Dua hari yang lalu, tepatnya tanggal 22 Januari aku berhasil meyakinkan orang tua untuk mengizinkan diriku pergi ke Jember, ke kampus tentunya. Banyak step-step yang telah terancang dalam benak seperti di hari jumat harus memesan tiket, karena pada hari itu aku sedang berada di Malang, serta rencana tetek bengek lainnya ikut menjejaki ruang imajinasi.
Langsung saja, ternyata semua ini jauh sekali dengan apa yang ada dalam pikiran, hati dan perasaanku. Aku seperti datang untuk pergi dan tidak mau kembali lagi, seperti dijejal segumpal daging babi dan ketika akan menyuapnya aku sadar bahwa yang sedang aku pegang adalah daging itu. wkwk
(gerbang keluar kampus UNEJ)
Aku menerawang aura tidak mengenakkan ketika aku tuliskan 3 fonem 3 grafem (HMI) yang sedang merangkulku. Gemas sekali rasanya, melihat wajah-wajah yang sejak tadi tak memiliki rasa iba. Menyangkal, memojokkan, pressing, dan benar-benar tidak aku terima. Sesekali mengaitkan organisasi yang lebih dulu aku bergabung dan kutuliskan kembali di selembar kertas miliknya dengan niat awal berharap setelah melangkahkan kaki dari Lumajang, aku ingin menemukan hal baru yang mau aku ajak melangkah bersama, merawat satu sama lain, dan ternyata ‘salah’. Niatku ternegoisasi oleh alam secara perlahan setelah mendengar “ ... tidak diperbolehkan untuk mahasiswa yang tergabung dalam organisasi pergerakan” . Akhirnya muncul juga hasrat tetang ini, secara tidak langsung aku mengerti jalan bicaranya dan tentu perspektifnya mengenai HMI sangat menyeramkan, aku dibuatnya takut beberapa saat sedikit tentang independen HMI yang melangit, pembicaraannya selalu tentang politik, dst. Dan kala itu aku mendengar bisikan dari temanku yang sebelumnya ingin membukakan gerbangnya untuk berhimpun “ Aku takut bergabung di HMI”. Aku diingatkan dengan kata-kata Kakakku Alvi, “ HMI tidak pernah mati oleh pandangan-pandangan dari orang lain seperti mereka, dan bukan tugasmu (aku) untuk mengubah pandangan siapapun atas HMI”.
Masalahnya tidak sepenuhnya karena itu, kala itu aku ingin sekali menangis tetapi rasanya sangat memalukan. Dia berbicara tentang loyalitas, cinta, kekeluargaan, dan “ seni itu bebas”. Busung lapar tentang seni, aku rasa aku tidak akan mati seperti daun kering tanpa seni jika memang harus menjelekkan dan tidak memberinhak asasi terhadap keberbedaan. “ seni itu bebas” aku bisa mencarinya dan aku dapatkan dari sesuatu yang aku rasa lebih memiliki cinta. Satu dari sekian juta aku temukan, dan terjawab satu per satu dari segudang pertanyaan tanpa diksi siap menyeruak memerintah jiwa mau menuruti hati nurani, karena nurani tidak pernah berdusta. Daulat atas diriku adalah aku sendiri, apapun dan siapapun di dunia ini yang bisa ikut campur atas duniaku. Karena aku ingin hidup seperti yang Tuhanku inginkan, bukan seperti punai terjerat hidup dibebaskan.
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Label
bercerita- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar