Awalnya ku kira hal ini tidak akan menemukan titik baik kecuali
selamanya akan menjelma ketakutan. Biarpun sugesti, empati meminta kerjasama otak
dalam mengatur gerak gerik, “pasti nihil” ucapku ketika itu.
Ketakutan memang tidak boleh selamanya menjadi satu-satunya penghuni
dan membiarkan menyebar dokrin hingga ke urat nadi bahkan mendarah daging. Takut,
takut, dan takut. Ketika semua hal difokuskan pada satu sub tema yang bernama “takut”,
tidak akan ada habisnya. Pilihan ya hanya satu, berani atau mundur sekalian. Karena
jatuh dari takut yang aku maksud, insecure namanya. Aku pernah mendengar
dari seorang kawan asal pamekasan, dia bilang gini “ jalani aja, apapun yang
terjadi, itu urusan belakangan”. Aku selalu ingat itu, dengan logat Madura yang
asik menurutku. Aku benar- benar menjalaninya. Setres, karena ketakutan-ketakutan
Yang belum tau kejelasannya seperti apa.
Aku bertemu manusia-manusia yang sebelumnya belum ku lihat secara
nyata. Dan semua menerimaku seperti bagaimana wajarnya Aku manusia. Waktu terms
berjalan detik demi detik, menit, jam, hari.. Kita akan saling mengenal dan mengingat,
bahwa kita pernah ada di tempat yang sama, belajar hal yang sama dengan segala perbedaan
yang kita punya.
Jadi,
Takut itu ibarat hanya bayangan yang menjelma fatamorgana. Dekati..
Niscaya akan terlewati.
aku juga sedang takut belakangan, dan tulisan ini menguatkan, terima kasih, Fa 🤍
BalasHapus